Sejumlah siswi ditemani guru perempuan pergi ke sebuah
kawasan arkeologi untuk melakukan penelitian. Setelah bus berhenti, para siswi segera turun dan mulai mengamati jejak-jejak arkeologi di kawasan yang tak berpenghuni itu.
Awalnya, mereka berada dalam satu kelompok. Namun, beberapa jam berikutnya mereka mulai berpencar, mencari obyek-obyek yang menarik perhatian masing-masing.
Salah seorang siswi yang tengah asyik mengamati obyek demi obyek tak menyadari saat waktu telah habis dan bus pulang kembali ke sekolah. Siswi yang lain dan guru pendamping juga tak menyadari bahwa siswi tersebut belum naik.
Sadar terlalu lama ia melakukan pengamatan, siswi tersebut kembali ke lokasi bus. Namun, ia tak mendapati apa pun di sana. Sepi. Ia berteriak memanggil guru dan teman-temannya, namun sia-sia. Tak ada jawaban apa pun.
Sendirian di tengah kawasan sunyi tentu membuatnya takut. Lantas ia memutuskan untuk mencari kampung terdekat.
Lelah juga ia berjalan. Sekian kilometer ia tempuh tetapi tak menemukan satu pun permukiman. Apalagi hari mulai berganti malam.
Ketika dilihatnya sebuah gubuk kecil, gadis itu memutuskan pergi ke sana. Siapa tahu ada bantuan. Kalau pun kosong, setidaknya ia bisa bermalam di gubuk itu.
“Assalamu’alaikum,” kata siswi tersebut sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikum salam,” rupanya di dalam gubuk itu ada seorang pemuda, kira-kira usianya 20 tahun. “Kamu siapa?”
“Saya ke daerah ini bersama rombongan teman sekolah dan guru, tapi aku tertinggal bis dan tidak tahu jalan pulang.”
“Kawasan ini tak berpenghuni, kampung terdekat ada di Selatan sedangkan sekarang engkau berada di utara. Di sini tak ada satu penduduk pun.”
Pemuda itu kemudian
kawasan arkeologi untuk melakukan penelitian. Setelah bus berhenti, para siswi segera turun dan mulai mengamati jejak-jejak arkeologi di kawasan yang tak berpenghuni itu.
Awalnya, mereka berada dalam satu kelompok. Namun, beberapa jam berikutnya mereka mulai berpencar, mencari obyek-obyek yang menarik perhatian masing-masing.
Salah seorang siswi yang tengah asyik mengamati obyek demi obyek tak menyadari saat waktu telah habis dan bus pulang kembali ke sekolah. Siswi yang lain dan guru pendamping juga tak menyadari bahwa siswi tersebut belum naik.
Sadar terlalu lama ia melakukan pengamatan, siswi tersebut kembali ke lokasi bus. Namun, ia tak mendapati apa pun di sana. Sepi. Ia berteriak memanggil guru dan teman-temannya, namun sia-sia. Tak ada jawaban apa pun.
Sendirian di tengah kawasan sunyi tentu membuatnya takut. Lantas ia memutuskan untuk mencari kampung terdekat.
Lelah juga ia berjalan. Sekian kilometer ia tempuh tetapi tak menemukan satu pun permukiman. Apalagi hari mulai berganti malam.
Ketika dilihatnya sebuah gubuk kecil, gadis itu memutuskan pergi ke sana. Siapa tahu ada bantuan. Kalau pun kosong, setidaknya ia bisa bermalam di gubuk itu.
“Assalamu’alaikum,” kata siswi tersebut sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikum salam,” rupanya di dalam gubuk itu ada seorang pemuda, kira-kira usianya 20 tahun. “Kamu siapa?”
“Saya ke daerah ini bersama rombongan teman sekolah dan guru, tapi aku tertinggal bis dan tidak tahu jalan pulang.”
“Kawasan ini tak berpenghuni, kampung terdekat ada di Selatan sedangkan sekarang engkau berada di utara. Di sini tak ada satu penduduk pun.”
Pemuda itu kemudian
menawarinya untuk bermalam di gubuknya. “Besok pagi, lanjutkanlah perjalanan ke kota.”
Ia meminta gadis itu tidur di ranjang, sedangkan ia akan tidur di ujung gubuk. Disekatnya antara ranjang dan sisa ruang gubuk dengan kain sprei yang ada di ranjang itu, ia ikatkan dari ujung ke ujung.
Gadis itu tidur dalam keadaan takut. Ia menutup seluruh tubuhnya kecuali mata. Khawatir terjadi apa-apa, ia tak berani tidur. Ia mengawasi apa yang dilakukan pemuda itu.
Duduk di ujung gubuk, pemuda itu tampak membaca buku ditemani cahaya lilin. Satu hal yang aneh terlihat oleh sang gadis.
Pemuda itu menutup buku dan mengarahkan jari-jarinya ke lilin. Beberapa saat kemudian, ia kembali mengarahkan jarinya yang lain ke atas lilin itu. Apakah ia sedang membakar jari-jarinya? Atau melakukan sebuah ritual mistis? Atau jangan-jangan, pemuda itu bukan manusia?
Ketakutan gadis itu semakin bertambah dan ia tak bisa tidur sama sekali menyaksikan pemuda itu terus duduk dalam kondisi demikian hingga pagi.
Saat fajar tiba, mulai hilanglah ketakutan gadis itu. Terlebih saat sang pemuda pagi itu mengantarnya hingga tiba di kota.
Dengan detil, gadis itu menceritakan kepada orangtua apa yang dialaminya. Untuk memastikan kebenaran cerita buah hatinya itu, sang ayah kemudian pergi mencari pemuda tersebut.
Sampai di gubuk yang persis seperti cerita anaknya, ia mengaku musafir yang perlu beristirahat sejenak lantas meminta ditunjukkan jalan. Melihat tangan pemuda tersebut dibalut, ia pun bertanya.
“Dua malam yang lalu,” kata pemuda itu, “ada seorang gadis cantik datang ke gubuk ini. Ia tertinggal rombongan sekolahnya lalu menginap di sini. Syetan membisikkan agar aku menzinainya. Karena takut jika aku benar-benar tergoda, maka kubakar jari-jariku satu per satu agar iblis tidak berhasil menggodaku. Pikiran untuk menzinai gadis itu benar-benar menyakitiku, lebih sakit dari terbakarnya jari-jariku ini.”
Sang ayah kagum dengan pemuda tersebut. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang sangat takut kepada Allah. Ia kemudian mengundang pemuda itu ke rumahnya. Lalu menikahkan ia dengan anaknya yang tak lain adalah gadis cantik yang ia tolong malam itu.
“Bukannya mendapatkan si gadis tersebut dalam satu malam dengan cara haram,” kata Salim Muraisyid ketika menuliskan kisah nyata ini dalam bukunya Qashashun Abkatni, ”pemuda itu justru mendapatkan gadis cantik ini sepanjang hidup secara halal.”
Sumber kisahhikmah.com
Ia meminta gadis itu tidur di ranjang, sedangkan ia akan tidur di ujung gubuk. Disekatnya antara ranjang dan sisa ruang gubuk dengan kain sprei yang ada di ranjang itu, ia ikatkan dari ujung ke ujung.
Gadis itu tidur dalam keadaan takut. Ia menutup seluruh tubuhnya kecuali mata. Khawatir terjadi apa-apa, ia tak berani tidur. Ia mengawasi apa yang dilakukan pemuda itu.
Duduk di ujung gubuk, pemuda itu tampak membaca buku ditemani cahaya lilin. Satu hal yang aneh terlihat oleh sang gadis.
Pemuda itu menutup buku dan mengarahkan jari-jarinya ke lilin. Beberapa saat kemudian, ia kembali mengarahkan jarinya yang lain ke atas lilin itu. Apakah ia sedang membakar jari-jarinya? Atau melakukan sebuah ritual mistis? Atau jangan-jangan, pemuda itu bukan manusia?
Ketakutan gadis itu semakin bertambah dan ia tak bisa tidur sama sekali menyaksikan pemuda itu terus duduk dalam kondisi demikian hingga pagi.
Saat fajar tiba, mulai hilanglah ketakutan gadis itu. Terlebih saat sang pemuda pagi itu mengantarnya hingga tiba di kota.
Dengan detil, gadis itu menceritakan kepada orangtua apa yang dialaminya. Untuk memastikan kebenaran cerita buah hatinya itu, sang ayah kemudian pergi mencari pemuda tersebut.
Sampai di gubuk yang persis seperti cerita anaknya, ia mengaku musafir yang perlu beristirahat sejenak lantas meminta ditunjukkan jalan. Melihat tangan pemuda tersebut dibalut, ia pun bertanya.
“Dua malam yang lalu,” kata pemuda itu, “ada seorang gadis cantik datang ke gubuk ini. Ia tertinggal rombongan sekolahnya lalu menginap di sini. Syetan membisikkan agar aku menzinainya. Karena takut jika aku benar-benar tergoda, maka kubakar jari-jariku satu per satu agar iblis tidak berhasil menggodaku. Pikiran untuk menzinai gadis itu benar-benar menyakitiku, lebih sakit dari terbakarnya jari-jariku ini.”
Sang ayah kagum dengan pemuda tersebut. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang sangat takut kepada Allah. Ia kemudian mengundang pemuda itu ke rumahnya. Lalu menikahkan ia dengan anaknya yang tak lain adalah gadis cantik yang ia tolong malam itu.
“Bukannya mendapatkan si gadis tersebut dalam satu malam dengan cara haram,” kata Salim Muraisyid ketika menuliskan kisah nyata ini dalam bukunya Qashashun Abkatni, ”pemuda itu justru mendapatkan gadis cantik ini sepanjang hidup secara halal.”
Sumber kisahhikmah.com
loading...