Bohong atau dusta adalah perbuatan haram bagi seorang mukmin. Kita harus menjauhi perbuatan yang satu ini karena kebiasaan berbohong atau berdusta menjadi salah satu ciri orang munafik. Na'udzubillah.
Tetapi, mungkin ada dari kita yang pernah mendengar perkataan, 'Udahlah, nggak apa-apa kalau bohong untuk kebaikan.' Wuidih, bener nggak tuh, Sob?
Hadits dari Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi SAW. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih)."
Ibnu Syahib berkata, "Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara; peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga)." (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim).
1.Peperangan
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Para ulama telah sepakat bolehnya mengelabui orang kafir dalam peperangan dengan cara apa saja yang mungkin dilakukan, kecuali bila terdapat padanya pembatalan perjanjian dan perdamaian, ini tidak diperbolehkan."
Ath Thabari rahimahullah berkata, "Kebohongan yang hanya diperbolehkan dalam perang adalah al-ma'ârîdh (tidak berterus-terang) bukan kebohongan murni, (kalau ini) hukumnya tidak boleh', Imam Nawawi rahimahullah mengomentari, "Demikian pernyataan beliau. Walaupun yang kuat adalah bolehnya melakukan kebohongan murni, akan tetapi tentu melakukan ta'rîdh (tidak berterus-terang dalam berucap) adalah lebih afdhol (utama) Wallâhu a'lam." (Lihat Syarh Shahih Muslim 12/45 dan 16/158).
Ath Thabari rahimahullah berkata, "Kebohongan yang hanya diperbolehkan dalam perang adalah al-ma'ârîdh (tidak berterus-terang) bukan kebohongan murni, (kalau ini) hukumnya tidak boleh', Imam Nawawi rahimahullah mengomentari, "Demikian pernyataan beliau. Walaupun yang kuat adalah bolehnya melakukan kebohongan murni, akan tetapi tentu melakukan ta'rîdh (tidak berterus-terang dalam berucap) adalah lebih afdhol (utama) Wallâhu a'lam." (Lihat Syarh Shahih Muslim 12/45 dan 16/158).
Contoh berbohong dalam peperangan yang dibolehkan adalah berpura-pura menampakkan kekuatan atau menipu musuh dengan strategi perang dan sejenisnya.
2.Mendamaikan yang berselisih
Supaya nggak benar-benar terjerumus pada kebohongan, saat terpaksa untuk mendamaikan saudara kita yang berselisih kita bisa menggunakan cara ma'aridh atau tauriyah atau permainan kata-kata. Ini adalah cara seseorang menggunakan kata-kata ambigu dengan harapan agar dipahami lain oleh lawan bicara.
Misalnya seorang yang menjadi penengah berkata, “Si fulan yang penuh dendam padamu itu selalu mendoakanmu.” Mendengar seperti itu, tentu akan reda pertikaian yang ada. Karena memang setiap muslim itu akan mendoakan yang lainnya dalam doa termasuk dalam shalatnya. Seperti saat tasyahud pada bacaan “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin” (salam untuk kita dan hamba Allah yang shalih). Yang dimaksud di sini adalah doa bagi setiap muslim. Jadi seakan-akan perkataannya tadi menunjukkan dusta, namun dari satu sisi benar karena ia pun mendoakan kaum muslimin secara umum dalam shalat.
Ini bisa kita lakukan nih, saat sahabat-sahabat dekat kita sedang berselisih, Sob. Jangan malah jadi kompor, jadilah penengah dan pendamai yang baik. Kalau terpaksa berbohong supaya mereka baikan, berbohonglah dengan elegan, misalnya dengan melakukan tauriyah. Tauriyah ini boleh banget dilakukan kalau untuk maslahat yang lebih besar, seperti menjaga tali silaturahmi di antara kalian.
3.Membawa kebaikan rumah tangga
Saat ingin membangun suasana rumah tangga yang kondusif dan lebih baik, kalau terpaksa kita bisa melakukan tauriyah. Misal suami dan istri yang menunjukkan rasa cinta dengan menggombal. Atau memuji masakan istri untuk menyenangkannya meskipun lidah kita merasakan yang sebaliknya. Tapi, kudu diperhatiin bahwa boleh bohongnya suami atau istri bukan untuk mendzalimi hak pasangan atau lari dari tanggung jawab (An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim).
Sob, Nida ingetin lagi nih, bahwa bohong hukumnya tetap haram kecuali di tiga kondisi di atas. Kita boleh berbohong kalau mendatangkan maslahat yang lebih besar dan bahkan wajib bila dalam usaha menghindarkan diri dari kehancuran atau kebinasaan seseorang (Nuzhatul Muttaqin karya Syaikh Prof Dr Musthafa Al Bugho, dan kawan-kawan, hal. 134).
Seperti contoh kisah Nabi Ibrahim ‘alahis salam berikut ini. Dalam hadits riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Suatu ketika Nabi Ibrahim pernah bersama istrinya Sarah, mereka berdua melewati daerah yang dipimpin oleh penguasa yang zhalim. Ketika rakyatnya melihat istri Ibrahim, mereka lapor kepada raja, di sana ada lelaki bersama seorang wanita yang sangat cantik –sementara penguasa ini punya kebiasaan, merampas istri orang dan membunuh suaminya– Penguasa itu mengutus orang untuk menanyakannya. “Siapa wanita ini?” tanya prajurit. “Dia saudariku.” Jawab Ibrahim. Setelah menjawab ini, Ibrahim mendatangi istrinya dan mengatakan, “Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan engkau anggap aku berbohong… dst.” Nabi Ibrahim ‘alahis salam dalam hal ini menggunakan kalimat ambigu. Kata “saudara” bisa bermakna saudara seagama atau saudara kandung. Yang diiginkan Ibrahim adalah saudara seiman/seagama, sementara perkataan beliau ini dipahami oleh prajurit, saudara kandung.
Allahu a'lam.
via: annida-online.com
loading...